-->
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kasus Tere Liye Benarkah PPh Royalti Penulis Buku Sangat Tinggi?

Pajak penghasilan royalti penulis buku sangat tinggi, setidaknya begitulah pemberitaan media akhir-akhir ini. Tere Liye, seorang penulis buku best seller mengeluhkan besarnya tarif pajak yang...

Konten [Tampil]
Pajak Penghasilan Royalti Penulis Buku Sangat Tinggi

Pajak Penghasilan Perorangan

Untuk memahami pemberitaan di media terkait tarif pajak atas royalti penulis buku yang disampaikan oleh Tere Liye, Anda harus tahu dulu apa itu Pajak Penghasilan untuk orang pribadi. Ada 2 referensi yang wajib Anda baca yang juga kami jadikan acuan dasar opini tulisan kami yaitu Undang-undang Pajak Penghasilan No 36 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013.

Beda pekerjaan beda pula pasal yang digunakan, seperti itulah undang-undang pajak yang berlaku. Seperti kasus yang sedang hangat saat ini tentang penulis buku bernama pena Tere Liye. Apakah benar pajak penghasilan untuk penulis buku sangat tinggi? Untuk menjawab ini perlu kita kupas poin per poin.

Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan No 36 Tahun 2008 sudah dijelaskan bahwa tarif pajak orang pribadi dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan jenis pekerjaannya, yaitu
  1. Karyawan atau Pegawai
  2. Usahawan
  3. Pekerjaan Bebas
Pajak penghasilan untuk karyawan diatur di Pasal 21 (biasa disebut PPh Pasal 21), sedangkan untuk usahawan dan pekerjaan bebas diatur di Pasal 25 (biasa disebut PPh Pasal 25). Di tahun 2013 pemerintah mengelurkan Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Usaha. Dan ini lah yang akhirnya menimbulkan perdebatan sejak saat aturan itu dikeluarkan hingga saat ini.

Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 sebenarnya bertujuan untuk menyederhakan perhitungan pajak dan untuk memberikan keringan pajak khususnya untuk UMKM. Namun pada saat pelaksanaannya malah sebaliknya, ada yang merasa diuntungkan dan ada juga yang merasa keberatan dengan aturan ini. Mengapa seperti itu? Mari kita diskusikan lebih dalam.

Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013

Hal yang menjadi keberatan banyak pihak atas Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 terkait dengan tarif flat sebesar 1% yang tidak adil. Selain itu, penggolongan usaha yang termasuk dalam kategori UMKM yang disebut dalam Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 menjadi tidak fair untuk beberapa pihak. Dua alasan itu lah yang mengakibatkan Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) namun akhirnya dinyatakan sudah sesuai dengan undang-undang pajak.

Jika kita melihat tarif pajak usaha di Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan No 36 Tahun 2008 maka tarif yang digunakan bersifat progresif. Yang dimaksud dengan tarif progresif adalah tarif yang berlaku akan bebeda (bertambah tinggi) sesuai dengan omset. Makin tinggi penghasilan maka makin besar pulang tarif pajak yang digunakan. Tarif progresif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan No 36 Tahun 2008 yaitu sebagai berikut:
  • Penghasilan di bawah 50 juta berlaku tarif 5%
  • Penghasilan 50 juta  sampai 250 juta berlaku tarif 15%
  • Penghasilan 250 juta sampai 500 juta berlaku tarif 25%
  • Penghasilan di atas 500 juta berlaku tarif 30%

Tarif tersebut berlaku untuk penghasilan bersih bukan omset seluruhnya. Untuk biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan tersebut boleh dikurangkan dari omset yang diperoleh. Dengan simulasi sederhana, maka Anda akan menyadari bahwa tarif 1% PP 46 Tahun 2013 sangat tinggi, karena perkalian tarif tersebut langsung ke omset kotor bukan penghasilan bersih. Hal ini malah tidak adil untuk UMKM dengan kelas bawah (omset dibawah 1 Milyar per tahun), sementara untuk UMKM kelas menengah (omset 1-4,8 Milyar) justru diuntungkan.

Selain itu, pengelompokan jenis usaha apa saja yang masuk sebagai kategori UMKM juga menjadi polemik sendiri. Berikut adalah pengelompokan jenis usaha yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013.


Jenis UMKM yang bisa menggunakan tarif 1% PP 46 Tahun 2013

  • tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  • pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
    olahragawan; 
  • penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; 
  • pengarang, peneliti, dan penerjemah; 
  • agen iklan; 
  • pengawas atau pengelola proyek; 
  • perantara; 
  • petugas penjaja barang dagangan; 
  • agen asuransi; dan 
  • distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya. 


Jenis UMKM Perorangan yang TIDAK BISA menggunakan tarif 1%

1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Penjelasan: Wajib Pajak orang pribadi yang tergolong dalam ketentuan ini adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa melalui suatu tempat usaha yang dapat dibongkar pasang, termasuk yang menggunakan gerobak, dan menggunakan tempat untuk kepentingan umum yang menurut peraturan perundang-undangan bahwa tempat tersebut tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan, misalnya pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan sejenisnya. Terhadap Wajib Pajak tersebut atas penghasilannya tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. (Penjelasan Pasal 2 ayat (3) pp 46 Tahun 2013)

Jenis UMKM Badan Usaha yang TIDAK BISA menggunakan tarif 1%

1. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
  • Wajib Pajak ini dikenai PPh berdasarkan tarif umum UU PPh sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial. (Pasal 7 ayat (1) PMK-107/PMK.011/2013)
  • Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melewati Tahun Pajak yang bersangkutan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya. (Pasal 7 ayat (2) PMK-107/PMK.011/2013) 
  • Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan pp 46 TAHUN 2013 bagi WP badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali, ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial. (Butir E angka 2 huruf b SE-32/PJ/2014) 
2. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Memahami Kasus Tere Liye

Pajak Penghasilan Royalti Penulis Buku

Dalam kasus Tere Liye yang mempermasalahkan Pajak Penghasilan Royalti Penulis Buku yang terlalu tinggi sebenarnya sudah bisa dijelaskan di sini. Tere Liye membandingkan tarif pajak 1% dalam Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 dengan tarif progresif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan No 36 Tahun 2008.

Jika melihat pekerjaan Tere Liye maka yang bersangkutan tidak termasuk dalam kategori Wajib Pajak yang bisa menggunakan tarif 1%. Sehingga berlaku tarif progresif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan No 36 Tahun 2008. Jika melihat profesi Tere Liye sebagai seorang penulis, maka tarif Pasal 17 ini cukup besar dikarenakan tidak banyak biaya yang dikeluarkan untuk memperolah penghasilan. Sehingga jika dihitung pajaknya, maka akan cukup besar sekalipun sudah menggunakan norma perhitungan sebesar 50%.

Pajak Penghasilan Royalti Penulis Buku Tinggi?

Namun jika kita melihat lebih luas, banyak UMKM malah lebih memilih menggunakan Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan No 36 Tahun 2008 dibanding dengan tarif 1% PP 46 Tahun 2013. Keadaan di lapangan tentu sangat bervariasi. Jika untuk mendapatkan penghasilan dibutuhkan banyak biaya maka tarif  Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan No 36 Tahun 2008 akan terasa kecil hal ini karena penghasilan bersih yang akhirnya dikalikan dengan tarif pajak kecil. Sementara untuk usaha yang tidak banyak mengeluarkan biaya maka tarif 1% PP 46 Tahun 2013 yang lebih menjadi opsi.

Untuk saat ini tarif pajak belum mengakomodasi kedua hal ini. Melihat kondisi seperti ini sebaiknya memang perlu dilakukan perubahan tarif pajak untuk mengakomodir lebih banyak kasus di lapangan sehingga tarif pajak menjadi lebih fair untuk semua pihak.

Klarifikasi DJP Mengenai Pajak Penghasilan Terhadap Profesi Penulis

Sehubungan dengan pemberitaan terkait keluhan atas perlakuan pajak penghasilan yang dianggap tidak adil terhadap profesi penulis khususnya yang disampaikan oleh penulis Tere Liye, bersama ini Ditjen Pajak menyampaikan penjelasan sebagai berikut:

1. Pada prinsipnya semua jenis penghasilan yang diterima dari semua sumber dikenakan pajak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menjunjung tinggi asas-asas perpajakan yang baik, termasuk asas keadilan dan kesederhanaan.

2. Penghasilan yang menjadi objek pajak adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis, sehingga pajak dikenakan atas penghasilan neto yang ditentukan dari penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

3. Wajib Pajak yang berprofesi sebagai penulis dengan penghasilan bruto kurang dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun, dapat memilih untuk menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) yang besarnya adalah 50% dari royalti yang diterima dari penerbit sesuai dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 untuk Klasifikasi Lapangan Usaha Nomor 90002 (Pekerja Seni). Ketentuan teknis mengenai penggunaan NPPN diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak tersebut.

4. Ditjen Pajak menghargai dan terbuka terhadap setiap masukan untuk memperbaiki dan meningkatkan sistem perpajakan Indonesia. Masukan dari semua pihak kami tindaklanjuti sesegera mungkin, namun keputusan yang bersifat kebijakan diambil secara hati-hati dan saksama dengan mempertimbangkan semua aspek, termasuk aspek legal dan analisis dampak kebijakan secara lebih luas yang seringkali membutuhkan waktu yang tidak singkat.

5. Saat ini Pemerintah sedang melaksanakan program Reformasi Perpajakan untuk memperbaiki sistem perpajakan Indonesia, termasuk reformasi di bidang peraturan dan regulasi perpajakan. Untuk mengetahui lebih lanjut dan memberikan masukan untuk program Reformasi Perpajakan tersebut, kunjungi laman www.pajak.go.id/reformasiperpajakan. Pertanyaan yang bersifat teknis dapat disampaikan langsung kepada Account Representative masing-masing atau menghubungi Kring Pajak di 1500 200.

( Klarifikasi DJP Mengenai Pajak Penghasilan Terhadap Profesi Penulis dikutip dari situs Resmi DJP http://pajak.go.id)

Pajak Penghasilan Terhadap Profesi Penulis